Solusi Pendidikan Atas Tawuran Pelajar Di Tingkat SMA dan Perguruan Tinggi - Tentang kekerasan dalam ospek/bilyying dan kenakalan remaja berupa tawuran. Tapi kali ini kiat juga akan sedikit menyinggung tentafg bonus demografi. Bonus demografi adalah suatu keadaan dimana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih banyak daripada jumlah pendudukan dibanding usia non produktif. Dikatakan sebagai “bonus” karena tidak semua negara mengalami ledakan penduduk sepeti ini. Bonus demografi adalah potensi terbesar untuk membuat Indonesia maju, banyak negara memanfaatkan bonus demografi untuk kemjuannya, seperti Cina, setelah bonus demografi prosentase pertumbuhan ekonominya 9,2 persen, Korea Selatan dari 7,3 persen menjadi 13,2 persen, Singapura dari 8,2 menjadi 13,6 persen. Menurut Bappenas, Proporsi penduduk usia produktif akan terus meningkat mencapai puncaknya yaitu 68,1 persen pada 2028 – 2031. Inilah yang disebut dengan bonus demografi, (mayoraitas penduduk berada pada usia produktif). Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI) DR. Sonny Harry B Harmadi menyampaikan bahwa meski Indonesia memiliki peluang dengan memanfaatkan bonus demografi, namun bukan berarti Indonesia akan tinggal landas menjadi negara maju. Bisa saja bonus demografi tersebut terlewatkan begitu saja, seperti halnya Afrika Selatan dan Brazil (www.sosbud.kompasiana.com). Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM, Chairul Djamhari, menyebutkan bahwa sebuah negara bisa berkembang dengan baik bila jumlah pengusahanya minimal 2 persen, sedangkan prosentase pengusaha yang kita miliki sekarang adalah 1,5 persen, masih sangat jauh tertinggal dari Singaphore yang termasuk negara kecil, mereka sudah memiliki 10 persen pengusaha. Jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan bonus ini, maka pengusaha asing banyak berinvestasi dan melakukan aktivitas ekonomi ke Indonesia, sedangkan Indonesia tidak melakukan apa apa (jadi buruh dirumah sendiri) sehingga Indonesia menjadi negara yang semakin tertinggal.
Sementara itu di Indonesia yang harusnya akademisi peserta bonus demografi sudah mempersiapkan diri, justru mengalami kenakalan remaja (tawuran, narkoba, balap liar, dll). Berbagai pihak saling menyalahkan, instansi pendidikan dituduh gagal membentuk karakter peserta didiknya, orang tua dituduh lalai dalam mengawasi anaknya, pemerintah dianggap paling bersalah karena kebijakan pendidikan hanya berorientasi intelektual bukan emosional - spiritual.
Kenakalan remaja yang paling nampak dan berdampak dimasyarakat adalah tawuran. Tawuran pelajar itu sendiri embrionya dari bullying saat masa orientasi berupa tindak kekerasan dan intimidasi di dalam instansi pendidikan. Peryataan ini juga didukung oleh Vena Melinda (komisi pendidikan DPR F-Demokrat). Karena remaja masih labil dan sensitif, maka jika diintimidasi (di-bully) akan tumbuh dendam, dendam yang dimaksud disini adalah ketika junior diorientasi dengan intimidasi atau kekerasan oleh seniornya, maka ketika dia sudah menjadi senior dia akan mem-bully junior sama seperti yang dia alami bahkan lebih parah. Hal seperti ini jika tidak dihentikan akan menjadi tradisi/kebiasaan dan berpotensi memakan korban jiwa seperti di ITN Malang ketika ospek di Goa Cina, Oktober 2013 lalu yang menewaskan Fikri Dolasmantya (Solopos.com). Dampak lain berupa tawuran langsung yang sempat menghebohkan media massa pada tahun 2012 yaitu tawuran antara SMA 6 dan SMA 70 di bundaran Bulungan – Jakarta Selatan yang menewaskan Alawy Yusianto P (www.kejari-jaksel.go.id).
Banyak instansi pendidikan sering menggunakan makian dan bentakan dalam masa orientasi peserta didiknya dengan alasan character building, salah satunya di Universitas Jember, khususnya Fakultas Teknik. Hal semacam ini mungkin tidak disadari oleh senior bahwa secara tidak langsung justru melenceng dari tujuan, yang semula untuk membentuk mental ulet dan tahan banting justru menjadikan juniornya berwatak keras. Menurut Dr. Ming-Te Wang (profesor psikologi pendidikan di Universitas Pittsburgh), memarahi anak usia remaja dengan kata-kata kasar bentakan akan merusak kepribadiannya saat mereka sudah dewasa, menjadi suka membangkang, bolos sekolah, suka tawuran dan lain sebagainya.
Tawuran antar pelajar memberikan dampak jangka pendek berupa luka, korban jiwa dan vandalism, sedangkan dampak jangka panjang berupa depresi traumatik yang diderita masyarakat sehingga membuat masyarakat menjadi pesimis terhadap generasi muda sebagai penerus peradaban bangsa. Lantas bagaimana mengubah tindakan destruktif tersebut menjadi suatu tindakan konstruktif dan konservatif? Seperti biasanya artikel tulisan saya pasti berisi solusi atas masalah pendidikan. Lalu apa solusi untuk yang satu ini? Pendidikan kewirausahaan dan pendidikan bahasa asing secara intensif. Itulah jawabannya. Mengapa? SDGs sedang berjalan sebagai bentuk tindak lanjut dari PBB untuk mingkatkan pembangunan di setiap negara anggota PBB pasca berakhirnya kesepakatan MDGs. Sementara itu kita memiliki bonus demografi yangmana peserta bonus demografi itu adalah remaja (akademisi). Bonus demografi bisa saja menjadi hal sisa-sia manakala tidak dimanfaatkan dengan baik, lebih buruk lagi, justru akan menjadi beban negara dikala mereka sudah berada pada usia tua. Suatu anti tesa dari beberapa pakar bahwa untuk mengatasi masalah pemuda, maka sejatinya dibuatkan media untuk menyalurkan bakat, diciptakanlah lapangan olahraga untuk membangun sportivitas pemuda. Namun, ternyata inipun menjadi masalah, dilapangan pun terjadi kecurangan sehingga kerap memicu terjadinya tawuran. Itulah yang terjadi. Sebagai percobaan sekaligus sintesa sementara yang memberikan gambaran bahwa jika ingin mengurangi aktivitas tawuran, maka ciptakanlah lapangan kerja untuk mereka. Dengan demikian, tindak tawuran akan beralih menjadi pekerjaan yang produktif, tentunya sintesa ini memandang masalah pada aktivitas pemuda yang kurang kerjaan, juga menjawab bahwa tawuran merupakan kerjaan orang-orang yang tidak punya aktivitas berharga dalam hidupnya.
Pendidikan kewirausahaan di tingkat SMA dan pendidikan tinggi merupakan suatu upaya penghapusan tawuran dengan mengubah tradisi masa orientasi yang mengandung kekerasan menjadi suatu pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan tuntutan global dan mengubah pola hidup masyarakat yang konsumtif menjadi produktif. Jalan ini dipilih karena dari berbagai cara yang sudah dijalankan untuk membendung tawuran ternyata tidak efektif dan efisien, sehingga tidak tepat sasaran. Untuk perlu digagas sebuah solusi baru yang berpeluang besar menghentikan tawuran sekaligus memberikan nilai tambah bagi masyarakat luas. Teknik implementasi menggunakan pola top-down karena hanya dengan cara ini kebijakan dapat turun dan sekolah maupun universitas bisa menjalankan pola pendidikan dengan dasar hukum yang kuat dan regulasi yang jelas. Dengan menggunakan langkah-langkah yang sudah dipaparkan diatas, maka target untuk menghilangkan tawuran, memaksimalkan pemanfaatan bonus demografi, dan bersaing dengan dunia internasional akan dapat dicapai dengan mudah.
Manfaat akan dapat dirasakan bersama oleh negara, pemerintah, dan masyarakat. Karena dengan pola pendidikan ini, tawuran yang bersifat destruktif akan menjadi suatu kegiatan berwirausaha yang bersifat konstruktif sehingga meningkatkan income generasi muda dan membuat masyarakat menjadi optimis kembali bahwa masa depan peradaban bangsa terletak pada pemudanya. Rasionalnya dengan kondisi Indonesia yang seperti ini maka bonus demografi yang berpotensi negatif karena kurang termanfaatkan dengan baik, akan menjadi suatu sumber daya manusia yang sangat berharga bagi Indonesia. Jika dengan sedikit pemuda saja bisa membuat perubahan positif akan dapat memajukan Indonesia, maka akan luar biasa hasilnya jika pemuda yang menjadi peserta bonus demografi turun tangan berkontribusi pada Indonesia dengan mengisi aktivitasnya dengan hal-hal yang positif, produktif, dan solutif terhadap permasalahan sosial yang ada.